Senin, 21 Maret 2016

BIOTEKNOLOGI DI FILLIPINA

FAO memprediksi bahwa pada tahun 2050, jumlah populasi dunia akan mencapai lebih dari 9 milyar penduduk. Sebagian besar dari pertumbuhan penduduk dunia ini akan terjadi di Negara berkembang dan masih berada dalam fase transisi ekonomi. Ironisnya, kemampuan negara-negara tersebut untuk meningkatkan produksi pertanian dan pangan tidak akan seiring dengan peningkatan populasi. Meskipun beberapa pendapat berpandangan bahwa permasalahan utama terletak pada distribusi pangan, tetapi, pun jika ini dapat diatasi dalam waktu dekat, pertambahan populasi dunia tetap akan membutuhkan dukungan peningkatan produksi pertanian yang signifikan. Tantangan peningkatan produktivitas pertanian ini kemudian juga ditambah dengan persoalan semakin berkurangnya kualitas dan kuantitas sumber daya terbarukan dan tidak terbarukan, seperti penurunan kualitas air dan tanah, perubahan iklim, dan berkurangnya tenaga kerja di sector pertanian. Salah satu solusi untuk meningkatkan produktivitas pertanian di tengah-tengah persoalan yang ada adalah dengan menggunakan solusi inovasi dan teknologi. Teknologi ini diharapkan dapat meningkatan hasil panen, menggunakan sumber daya yang ada secara lebih efisien, ramah bagi lingkungan dan aman bagi manusia. Faktanya, sangat disayangkan bahwa selama bertahun-tahun, pertanian merupakan salah satu sektor yang paling sedikit tersentuh teknologi. Padahal inovasi pertanian telah terbukti dapat membantu meningkatkan produktivitas. Salah satu contohnya adalah penelitian dan komersialisasi tanaman hasil modifikasi genetis (tanaman bioteknologi). Tidak hanya menguntungkan dari segi social ekonomi karena peningkatan produktivitas pertanian, tanaman bioteknologi juga berpotensi untuk mengurangi efek rumah kaca dengan mengurangi penggunaan pupuk dan pestisida. Meskipun bioteknologi memiliki potensi besar dalam membantu meningkatkan produktivitas pertanian, prioritas dan dukungan pemerintah masih sangat terbatas. Dalam masalah regulasi dan aturan misalnya, yang merupakan ranah intervensi pertama dan utama pemerintah, ketidakjelasan aturan merupakan salah satu hambatan utama dalam adopsi teknologi ini. Dalam kasus adopsi bioteknologi, Pemerintah Indonesia dapat belajar banyak dari Pemerintah Filipina, yang telah mengadopsi bioteknologi selama lebih dari satu dekade. Kisah Sukses Filipina dalam Adopsi Bioteknologi Tanggal 4 Desember 2002 merupakan hari bersejarah bagi adopsi bioteknologi di Filipina, karena pada hari tersebut, Departemen Pertanian memberikan izin komersialisasi untuk MON810 atau yang kemudian lebih dikenal dengan jagung BT, sebagai produk bioteknologi modern pertama yang dizinkan untuk ditanam secara komersial. Jagung ini memiliki resistensi terhadap hama penggerek batang, yang merupakan salah satu hama utama yang menyerang tanaman jagung. Hal ini juga menjadikan Filipina sebagai negara pertama di ASEAN yang telah mengadopsi bioteknologi. Perjuangan dalam mencapai tahapan ini tidaklah mudah. Sebagaimana yang terjadi di Negara lainnya, terjadi banyak perdebatan publik baik di masyarakat umum maupun di dalam pemerintahan sendiri, yang berakar dari kurangnya pemahaman dan pengetahuan mengenai ilmu pengetahuan di balik bioteknologi moderen. Kekhawatiran bahwa bioteknologi akan berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan merusak lingkungan mendorong gerakan anti GMO dan anti teknologi. Hal ini diperburuk dengan persepsi negatif terhadap perusahaan multinasional yang memasarkan benih bioteknologi. Untuk menjawab kekhawatiran publik, Pemerintah Filipina kemudian menghimpun komunitasi lmuwan dan peneliti untuk menjawab kecemasan masyarakat. Keterbukaan Pemerintah pada masa itu sangat membantu untuk menjembatani dialog melalui informasi, fakta, dan data yang tepat. Kebijakan dan peraturan yang disusun juga memberikan kesempatan bagi teknologi ini berkembang, tanpa mengorbankan prinsip kehati-hatian dalam proses evaluasi dan penilaian. Dalam kasus ini, dukungan politis pemerintah tidak otomatis membuka masuknya produk rekayasa genetika untuk komersialisasi, tetapi lebih kepada keterbukaan dalam melihat pilihan-pilihan kebijakan yang ada, dengan melibatkan berbagai elemen terutama kalangan akademisi serta peneliti, dan industri, untuk menyiapkan perangkat evaluasi dan penilaian. Selain itu, dengan dukungan kalangan akademisi dan institusi Litbang, Pemerintah Filipina juga secara aktif menyediakan informasi kepada publik yang tepat dan berbasis pada ilmu pengetahuan. Saat ini, Filipina merupakan salah satu pemain utama dan menjadi model bagi pengembangan bioteknologi, tidak hanya di ASEAN, tetapi di Asia Pasifik. Pemerintah Filipina menerapkan aturan yang jelas, transparan, dan menerapkan pendekatan sains dalam pengkajian bioteknologi. Untuk memastikan produk bioteknologi aman terhadap manusia melalui konsumsi pangan, pakan bagi hewan, dan lingkungan, kebijakan yang diterapkan dalam evaluasi produk bioteknologi ini mengacu kepada organisasi dan aturan internasional seperti Cartagena Protocol on Biosafety, Codex Alimentarius Commission (untuk keamanan pangan), The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), dan UN Food and Agriculture Organization. Dari sisi komersialisasi dan peningkatan produktivitas, Filipina telah mengalami peningkatan yang sangat pesat. Saat ini lebih dari 650 ribu hektar lahan jagung di Filipina telah menanam jagung bioteknologi, jauh meningkat dibandingkan tahun 2003, yang hanya mencapai 10 ribu hektar. Dari awal komersialisasi sampai saat ini (kurang lebih tiga belas tahun), lebih dari 4,5 juta hektar lahan pertanian di Filipina telah menanam jagung bioteknologi. Hal ini menempatkan Filipina sebagai Negara urutan kedua belas dalam hal luasan area penanaman bioteknologi. Pesatnya perkembangan area lahan ini juga mencerminkan keterbukaan petani dalam mengadopsi teknologi ini. Sebagai pengguna utama dari produk benih jagung bioteknologi, petani di Filipina telah diuntungkan dalam hal peningkatan produktivitas. Suatu penelitian setempat memperlihatkan bahwa pada tingkatan petani, rata–rata jagung bioteknologi meningkatkan hasil panen sekitar 20 - 25 persen dibandingkan jagung hibrida biasa. Karena peningkatan produktvitas ini, petani akan mendapatkan tambahan penghasilan sebesar 10 - 15 persen. Selain itu, setelah lebih dari sepuluh tahun mengadopsi teknologi ini, saat ini Filipina telah sukses mengubah Filipina dari importir menjadi Negara pengekspor jagung. Perkembangan riset bioteknologi juga terus tumbuh disokong oleh pemain local dan internasional. Banyak perusahaan riset berskala global dan terkemuka menempatkan Filipina sebagai pusat penelitian dan pengembangan untuk bioteknologi pertanian dan pangan. Selain itu, berkat kolaborasi dan dukungan semua pemain, ilmuwan local dan universitas di Filipina mulai mengembangkan berbagai produk bioteknologi pertanian yang sesuai dengan kondisi pertanian setempat, seperti padi dengan fortifikasi vitamin A, tanaman terong bioteknologi, dan lain sebagainya. Pengalaman Filipina selama lebih dari sepuluh tahun ini merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia, untuk lebih serius dan memprioritaskan teknologi, inovasi dan pengetahuan, sebagai ujung tombak pengembangan pertanian di negara kita. Artikel ke dua : Laporan tentang bioteknologi yang diterbitkan pada April 2012 oleh PG Economics, lembaga spesialis penyedia jasa penasihat dan konsultasi untuk pertanian berbasis di Inggris, telah menunjukkan bahwa implementasi bioteknologi memiliki manfaat jangka panjang untuk ekonomi dan juga lingkungan. Laporan ini menganalisa pertumbuhan pendapatan dari seluruh negara yang sudah menerapkan bioteknologi, dari Amerika Serikat, Cina, India, dan Filipina, dan hasilnya menunjukkan negara-negara yang sudah mengembangkan tanaman pangan hasil modifikasi genetika (Genetically Modified/GM) memiliki jumlah kenaikan pendapatan sebesar US$ 78.4 triliun untuk periode 1996-2010. Graham Brookes, penulis laporan tersebut dan Direktur dari PG Economics mengatakan, "Berdasarkan penelitian kami selama lebih dari 15 tahun, penerapan bioteknologi tanaman telah secara konsisten memberikan keuntungan ekonomi kepada negara yang sudah menerapkannya dan juga untuk para petani yang menanam tanaman tersebut." Penelitian dan pengalaman selama 15 tahun ini dapat digunakan sebagai pedoman untuk memperkenalkan tanaman GM di negara-negara berkembang, petani dan pemerintah akan mampu mendapatkan keuntungan penuh dan sekaligus juga dapat melindungi lingkungan, tambahnya. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa penerapan bioteknologi memiliki dampak paling banyak di negara berkembang, seperti di India dan Cina. Teknologi Insect Resistance (IR) yang digunakan dalam menanam kapas dan jagung di kedua negara tersebut telah memberikan kontribusi peningkatan pada pendapatan pertanian tahun 2010; masing-masing sebanyak US$ 284/ha dan $89/ha. "Saya yakin bahwa tanaman GM bisa menjadi sebuah solusi untuk Indonesia dalam mengantisipasi masalah ketahanan dan keamanan pangan, dan juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara," kata Graham Brookes. Dari tahun 1996-2010, bioteknologi telah memberikan kontribusi tambahan 97,5 juta ton kacang kedelai dan 159,4 ton jagung untuk persediaan pangan dunia. Filipina merupakan negara tetangga yang paling dekat yang dapat dianalisa oleh Indonesia untuk dapat memperkenalkan tanaman GM kepada masyarakat. Sejak 2006, Filipina telah memperkenalkan jagung bioteknologi (bt corn) sebagai salah satu solusi dari masalah keamanan pangan. Namun, pemerintahan Filipina juga mendukung teknologi ini dengan membentuk kebijakan yang benar dan pusat penelitian untuk pengawasan bioteknologi. Demografi Filipina bisa dikatakan hampir sama dengan demografi Indonesia, salah satu dampak terbesar yang dapat dipelajari oleh Indonesia adalah kesejahteraan petani. Laporan PG Economics telah menunjukkan bahwa di tahun 2010, penerapan bioteknologi di negara-negara berkembang telah menyebabkan petani menerima 55% dari total keuntungan pendapatan pertanian. Selama periode 1996-2010, petani telah mendapatkan keuntungan sebesar 50% dalam menanam tanaman GM. "Ini adalah efek dari para petani menggunakan herbisida yang lebih jinak atau mengganti penggunaan insektisida dengan tanaman GM tahan serangga," kata Graham Brookes Laporan tersebut juga menyarankan bahwa tanaman bioteknologi yang berkembang akan dapat mengurangi pengeluaran emisi gas rumah kaca dari praktek pertanian. Tanaman bioteknologi memungkinkan para petani untuk menggunakan bahan bakar lebih sedikit dan menambahkan penyimpanan karbon di tanah karena berkurangnya kebutuhan untuk membajak tanah. Pada tahun 2010, menanam tanaman GM sama dengan mengurangi 19.4 miliar kg karbondioksida dari atmosfer atau menghilangkan 8.6 juta mobil dari jalan selama satu tahun.

RHAMANDA MUHARRY S
XI MALAYSIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar